Namanya Biru, anugerah terindah yang tiba-tiba saja dikirimkan Tuhan untuk menitipkan beberapa pelajaran. Pelajaran tentang kedewasaan, kehendak, juga perbedaan.
Biru harus tahu, jika aku tidak pernah merencanakan hati ini untuk jatuh padanya. Sungguh, niat saja tidak pernah terpikir sama sekali pada awalnya. Semua berubah begitu saja, niatan yang tadinya sama sekali tidak ada menjelma menjadi ketakutan terbesar bila harus kehilangannya.
Kami berbeda, sangat berbeda. Aku berpikir kiri, dia berpikir kanan. Dia percaya bila perbedaan akan selalu menjadi pertentangan, aku tidak. Aku selalu percaya bila perbedaan bisa menjadi alat untuk mempersatukan, tetapi dia tidak.
Tuhan, aku ingin dia. Aku mau Kau kirim dia bukan sekedar menitipkan pelajaran, pun menitipkan hatinya untuk bisa aku sayangi sepenuh hati.
Kami berbicara, matanya terlihat sedang berusaha keras untuk tidak mengeluarkan air mata. "Kamu harus dapatkan yang terbaik dan aku bukan yang terbaik. Lupakan aku, karena kamu pun tahu jika kita memang diharuskan untuk saling melupakan. Kita jauh berbeda, Langit. Kamu hitam, aku putih, pun sebaliknya. Kalaupun dipaksa bersatu, kamu tahu akan menjadi warna apa. Abu-abu, Langit. Semuanya akan menjadi percuma."
Aku raih kedua tangannya, berharap ia mau mendengar dan duduk sebentar. "Aku yakin tidak ada yang percuma, Biru. Biru ingin bertahan karena aku tahu kamu yang terbaik, kita harus mencoba untuk saling bertahan. Aku mohon."
"Tidak, kamu salah. Kita tidak boleh mencobanya sama sekali, karena semuanya akan semakin menjadi tambah percuma. Aku menyayangimu, aku tidak mau masing-masing dari kita semakin sakit. Langit, kehendak Tuhan memang tidak bisa dilawan. Kamu harus mencari warna yang lain, aku bukan warna yang akan melengkapi pelangimu. Aku haya abu-abu." Ia melepas genggaman tangannya dari genggamanku, kemudian matanya menangis deras.
Aku menduduk lemas, menangis, tidak sanggup bersuara keras. "Kamu tahu aku hancur?"
"Kamu tahu aku pun begitu?"
Ia beranjak pergi, meninggalkan aku tanpa perpisahan apa-apa.
Dia tidak mengerti atau aku yang tidak mau mengerti? Senyumannya adalah pengharapan, matanya adalah kejujuran, dia adalah satu yang mustahil untuk direlakan.
Perasaan ini semakin tidak karuan. Hati dan otak kian berdebat hebat. Disatu sisi aku harus merelakannya, namun ada sisi lain yang lebih besar yang mengatakan bila aku harus terus bertahan.
Namun, akhirnya aku berpikir murni dan berujung pada kesimpulan dimana ada beberapa tujuan yang tidak bisa memiliki jalan yang searah. Ada perasaan yang tidak bisa dilalui dari arah yang berbeda.
Mungkin dia benar, ini yang terbaik. Biarkan saja perasaan ini ada dan pernah ada, biarkan dia menjadi bingkai pelajaran yang paling berharga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar